Pages

Jumat, 23 April 2010

Cinta Tanpa Batasmu Kan Abadi

Aku diam menatap langit, birunya sebiru hati. Aku penjamkan mata, bayangku melayang berbalik menuju memori usang yang masih tertata rapi. Aku menikmatinya hingga aku seolah ada dalam kenangan itu. Di situ aku merasa sebuah tangan menarik tangan mungilku, mengajakku berjalan di jalan setapak yang cukup jauh. “Joxer.. kamu haus ?”, kujawab pertanyaannya dengan mengangguk, seiring reaksiku dia mengajak menuju ke sebuah tenda pelepas dahaga. Kami duduk, dia memesan 2 gelas minuman dingin sambil menghitung uang, tiba-tiba pikirannya berubah “maaf, Pak. 1 gelas saja”. Aku berpikir sejenak dan menoleh ke tangan kiri, tangan ini menggenggam sebuah bungkusan yang berisi mainan baru impianku. Namun daya pikirku tak secepat gelas yang sudah siap di depanku, sebuah tangan memegang kepalaku dan suara lembut menyapa “Joxer.. cepat diminum, kamu haus kan..”. aku menoleh ke arah dia dengan penuh tanya, “Sudah Joxer.. kamu minum semuanya, aku tidak haus koq”. Tenggorokan yang kering memaksa aku menghabiskan minuman itu, sambil menoleh lagi ke arah mainan yang kubawa dan aku mulai memutar otak lagi.. mungkin mainan ini yang menyebabkan dia tidak minum.


Ilusiku tiba-tiba berpindah ke memori lain. Perut terasa tanpa isi, aku tersiksa… aku merengek. Dia datang lagi… dia panik seperti aku akan dimakan serigala, dia menangis, dia memelukku. “Sabar sebentar ya”. Dia keluar rumah membawa sebuah cincin dari lemari, entah kemana dia pergi.. perutku terus bermain musik. Tak lama dia kembali membawa sebungkus nasi, tapi… ada yang aneh.. kemana cincin itu?. Aku berpikir lagi, sambil melahap makanan yang ada. Cincin itu telah kumakan, cincin itu berubah jadi makanan.

Kenangan lain perlahan mendominasi… dia sekarang menangis, Suara pedas nan menggelegar itu membuat air matanya menetes. Suara itu menghentak kuat, dan membuat dia terus menangis sambil menggenggam beberapa lembar uang. Dia lakukan itu demi sepatu baru yang kuimpikan, dia meminjam uang pada pemilik suara itu. Aku hanya diam, tak sanggup menangis.. aku hanya mampu berpikir bahwa aku penyebab dia menangis. Dia rela mendengar suara menyakitkan demi senyuman dari bibirku.

Desah angin membuyarkan semua ilusi kenangan berumur 30 tahun… aku membuka mata yang tanpa sadar mengeluarkan air sejuta makna. Kini aku duduk bersila berhadapan dengan dia.. meski dia tertanam di bawah dan berhias batu nisan sederhana. “Ibu… beristirahatlah… tangisan dan kesedihanmu telah berakhir… maaf aku belum sempat membalasnya …cinta tanpa batasmu kan abadi”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Hamster